Senin, 09 Januari 2012

Kuliah: Eksperimen Mimpi (page 6)


Setelah membuat surat wasiat. Gue merasa aman. Setidaknya, gue punya alibi maha konyol ketika gue ditanyain bokap nyokap perihal kelulusan gue di kampus ini. Ya, ya, terdengar cukup keren.

“DORRR!” sergap Okta dari belakang.

“Ehh,” gue menoleh ke arahnya dengan tatapan nanar. Lamunan gue buyar.

“Loh, kenapa muka elu Beng?! Ampun!” Okta menepuk jidatnya.

“Gue takuutt,” muka gue setel memelas biar dia iba.

“Kenapa? Mau ngadep pak Kajur ya?”

“Ho-oh” kata gue mengangguk sambil memeluk berkas.

“Lah, terus?”

“Gue takut ditelen idup-idup”

“HAHAHAHHAHAHAHAHHAHAHA,” Okta tertawa besar sampe-sampe seluruh oksigen kampus habis.

“HAHAHHAHA,” lanjutnya lagi. “HAHAHAHAHAUHUUKKUHUUKK,” Dia ketawa sambil batuk-batuk.

Gue diem. Gue kubur muka di pot-pot terdekat.

“Ehm. Eh, mau ngadep beliau kan?” Tanya Okta serius setelah berhenti ketawa.

“Iya, gue serius” gue udah pasang pose buat nangis ala sinetron.

“Enggak apa-apa kok. Tenang aja, Beliau enggak serem kok. Nih, buktinya gue” katanya Bangga menunjuk diri sendiri.

“Iya, elu kenapa?”

“Gue masih idup dan sehat-sehat aja kok. Barusan gue nemuin Beliau. Sono gih, mumpung moodnya lagi bagus. Cepetan, entar keburu berubah mood dia”

“Tapi tadi pagi denger-denger, dia habis ngunyah mahasiswa baru gara-gara nanya jadwal KRS HAHAHAHAAHA” ketawanya kembali menggelegar di lorong kampus. Gue tutup muka pake berkas sambil *pura-pura pingsan*

Berharap waktu diputar lebih cepat dan bisa melewati bagian ini. Seandainya ini film, gue bakal skip bagian ketemu kajur. Ya, dengan alasan yang tidak bisa dijelaskan. Intinya gue takut enggak lulus untuk pengajuan judul pertama. 

Meski takut gue harus lawan rasa takut gue, karena gue yakin keberanian adalah bagian dari kecerdasan emosi yang stabil *itu sih, hasil baca gue minggu lalu entah dari artikel apa hahhaa*

“Oke, tarik napas. Hembuskan..” GUE SIAP!


***

Minggu, 08 Januari 2012

Kuliah: Eksperimen Mimpi (Page 5)


Secara otak gue sudah diracuni kakak-kakak tingkat sebelumnya, kalo kajur kita ini adalah dosen paling ditakuti dikampus. Orangnya moody, kalau mood nya lagi baik dia bisa senyum dan bisa ngajak ngobrol dari hal-hal yang sederhana sampe bahas tentang sejarah komputer sejak tahun jebot. 

Nah, beda lagi kalo mood dia sedang jelek. Kata para senior yang sudah bangkotan di kampus, muka kajur bakal ditekuk dan dilipet sedemikian rupa. Apalagi kalo kita tetap nekat minta tanda tangannya untuk keperluan surat menyurat kampus.  Semua orang yang di dekatnya bakal di telan hidup-hidup!

“Glek!” Gue nelen ludah satu galon.

Sejak racun itu menghantui gue. Ketika gue mau berhadapan langsung dengan kajur, semalam suntuk gue membuat surat wasiat untuk menghindari beberapa hal yang tak diinginkan.
Gue membuat surat wasiat, kalo-kalo nasib gue bakal lebih buruk dari sebelumnya.

Dear siapapun yang membaca,

Entah nasib gue atau bukan, yang jelas gue antisipasi dengan beberapa hal buruk di kemudian hari. Untuk itu, gue membuat surat wasiat ini dengan kesadaran penuh dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Nama gue, SiBengal. Cukup panggil gue Bengal atau Beng.
Dengan ini menyatakan wasiat, jikalau gue enggak ada lagi di kampus tercinta ini. Itu artinya gue sudah wisuda dengan penuh sukacita. 

Dan jikalau gue masih tetap di kampus ini sampai tahun kedelapan. Itu artinya gue ditelen idup-idup oleh kajur gue. Ditelen terus dimuntahin lagi. Ditelen lagi terus dimuntahin *repeat 10x*

TTD,
With Love,
SiBengalLiar


Setelah membuat surat wasiat. Gue merasa aman. Setidaknya, gue punya alibi maha konyol ketika gue ditanyain bokap nyokap perihal kelulusan gue di kampus ini. Ya, ya, terdengar cukup keren.

“DORRR!” sergap Okta dari belakang

“Ehh,” gue menoleh ke arahnya dengan tatapan nanar.

Kuliah: Eksperimen Mimpi (Page 4)


“Informasi adalah bla.. bla.. bla..” jawab gue bangga.

“Ok. Nah, jadi Sistem Infomasi itu apa?” tanyanya lagi dengan mimik muka serius.

“Aha!” dalam hati gue bersorak bergembira. Tanpa sadar muka gue berubah sumringah berlebihan. Mata membesar, mulut menganga, hidung kembang kempis.

“Enggak jadi!” tiba-tiba dia berhenti bertanya dengan muka jutek.

Muka gue yang sedang berbunga-bunga untuk menjawab pertanyaan yang sudah gue hapal dari rumah, otomatis layu.

“Beng, kau curang. Pasti sudah tanya sama teman tentang pertanyaan Bapak ya?!” Tuduhnya penuh dengan kecurigaan terhadap mahasiswa cute kayak gue. Lafalan mantra gue terhenti.

Muka gue polos. Tanpa ekspresi gue menggeleng lemah.

Glek! Gue menelan ludah. Mantra gue lanjutin lagi.

“Ganti pertanyaan,”

“B-boleh pak” respon gue pasrah.

“Kau yang perempuan sendirian waktu ke Malaysia itu bukan?”

“Iya pak”

“Saat studi banding itu, ya kan?”

“Bener pak”

“Nah, waktu itu beli apa aja di pasar malemnya”

Gue jedotin kepala. Dosen jedotin kepalanya ke meja. Gue diem. Dia diem. Ruangan hening satu abad.


Selama satu abad gue menikah dengan pangeran gue sekaligus punya anak lucu-lucu dan hidup bahagia selama-lamanya.

***

Enggak terasa satu abad berlalu. Judul gue akhirnya diterima juga walaupun dilewati dengan pertanyaan-pertanyaan konyol. Selesai melewati tahap awal pengajuan judul gue langsung minta persetujuan kajur.

Gue berjalan pelan keluar dari ruangan. Lalu menelusuri lorong-lorong kampus ke ruangan kajur. Hati gue lompat-lompat dan balap karung. Gue keder kalo sudah berhadapan langsung di depan muka kajur.

Kuliah: Eksperimen Mimpi (Page 3)


Kita berdua melakukan gerakan slow motion. Senyum. Lalu sumringah.

Semua adegan film detektif-detektifan kesukaan gue tiba-tiba muncul di ruangan ini. Bapak di hadapan gue tiba-tiba berubah jadi agen rahasia yang manggil gue untuk memberikan misi rahasia.

“Bengal!” teriaknya tegas.

“Yes, Sir!” jawab gue enggak mau kalah tegas.

“Gimana judul skripsinya? Sudah siap di tanya-tanya belom? Sudah siap semua termasuk konskuensi dari judul yang diambil? Dan apakah juga sudah siap untuk mempertanggung jawabkannya dikemudian hari?” tanyanya seperti rentetan senjata yang panjang.

“Siap, pak!” jawab gue antusias sambil [tetap] baca mantra.

Pintu ruangan tertutup. Brak!

Wajah gue berubah pasi. Mantra gue berhenti dan napas gue tercekat di tenggorokkan.

Berhubung gue jurusan teknik informatika, gue merubah setting adegan dari yang tadinya film detektif-detektifan menjadi film Doraemon *Loh?

“Beng, siap dengan pertanyaan Bapak dari hasil paparan judul yang kau ambil?!” katanya dengan logat Palembang kental.

“S-siaaap, pak!”

“Ok, pertanyaan pertama. Berapa umur bapak? Coba tebak?! Anak bapak ada dua. Istri bapak alhamdulilah masih satu. Lalu kenapa kau ambil judul ini?”

Gue garuk-garuk kepala. Gue garuk-garuk paper berisi judul cadangan ke betis gue. Gue garuk-garuk jidat. Gue garuk-garuk dinding kampus. Gue garuk muka dosennya.

Gue  diem. Dosennya diem.

“Pak,” muka gue protes.

“Oh, hahahhahhaa” *tepok jidat*

“Pakkk,” muka gue makin protes sambil bawa-bawa baleho kayak mahasiswa demo.

“Ok. Hemm,” mukanya serius.

“Apa itu sistem?” lanjutnya dengan sikap bijaksana

“Bla.. bla.. bla..” jawab gue lancar. Dalam hati gue “Asyeeeekk, sudah hapal. Uhui!”

“Umm, pertanyaan kedua. Informasi itu definisinya apa?” 

Kuliah: Eksperimen Mimpi (Page 2)


Dahi Bokap menggernyit. Dalam hati bokap pasti bilang: “Anak gue kenapraaa, Tuhan? Mukanya biru-biru sambil komat-kamit di dalem mobil gue?!”

Gue sampe juga di kampus. Kampus yang dulunya membuat gue menginginkannya melebih apapun. Gue pengen duduk di kampus. Elus-elus dinding kampus. Peluk-peluk dinding kampus sampe mampus. Tapi sekarang?!

Jangan tanya. Perasaan gue sama kampus udah berubah seiring waktu. Persis kayak lagunya Rio Febrian “Jenuuuuhhhh,” sambil *Lo. Bisa berpura-pura pingsan*

Sebenarnya, bukan karena jenuh menjabat sebagai mahasiswi tingkat atas. Tapi, sekarang emang sudah waktunya mengajukan judul. Syarat SKS sudah. Syarat kerja praktek udah. Dan saatnya beraksi sampai tetes darah penghabisan untuk perjuangan satu ini.

Ibaratnya, kalau lo belum benar-benar merasakan jatuh bangunnya bikin skripsi. Lo belum layak disebut sebagai seorang mahasiswa.

Triiiiiiiiitt! Rem mobil bokap berderit. Mobil berhenti tepat di depan kampus dan gue merasa benar-benar membutuhkan tabung oksigen sekarang juga. Deg-deg’an campur sesak napas dadakan merupakan perpaduan panic attack yang sangat menyiksa batin.

Pikiran gue melayang kemana-mana. Antara wajah kajur ke tempat belanja. Balik ke tempat belanja dan wajah kajur. Antara tempat wajah ke belanja kajur. Aduh, saat stres begini bawaan malah pengin belanja gila-gila’an >,<

“Ayah, doain ya! Semoga judul untuk skripsi hari ini diterima. Wajah kajurnya bikin mau belanja Yah,” Teriak gue pamitan sambil menutup pintu mobil menghambur menyapa satpam kampus. Muka bokap bengong.

“Hai, Pak.” Kata gue semangat, padahal jantung udah lepas-pasang sejak di perjalanan. Pak satpamnya cuma memberi senyum sehangat martabak manis di kantin. Sudah itu lanjut bengong lagi. *Lah?!

Akhirnya gue sampai di depan ruangan pembimbing akademik gue. Napas gue masih ngos-ngosan. Dan mengetuk pintu pelan-pelan sambil baca mantra.

Tok.. Tok.. Tok..

“Silahkan,” kata suara dari dalam ruangan.

Gue masuk dan menyisir keadaan ruangan. Semua tampak aman terkendali. Dan tanpa canggung gue melangkah masuk sambil senyum selebar lima jari.

“Loh, SiBengal?” seru si dosen sumringah dari balik Koran yang menutupi wajahnya tadi.

“Loh, bapaakk?!” teriak gue enggak kalah girang.

Kuliah: Eksperimen Mimpi (Page 1)


Pagi ini, gue sudah harus menyiapkan beberapa judul untuk pengajuan skripsi di awal semester enam. Gue orangnya gregetan kalo soal ginian, makanya gue menyiapkan berkas-berkas sejak seminggu lalu. Tidur gue bisa pules kalo udah menyelesaikan bahan-bahan penting untuk kuliah. Judulnya sih, done.

Sekarang tinggal persiapannya saja. Karena judul yang udah siap langsung bisa setor di ketua jurusan masing-masing fakultas ( sering disingkat menjadi kajur alias ketua jurusan). Denger-denger, ketua jurusan kami mempunyai jiwa perfeksionis. Jadi, semua mahasiswa -tanpa terkecuali- harus patuh pada sistem yang ada. Mottonya adalah ketika mahasiswa salah, mahasiswa harus diberi hukuman tapi ketika dosen salah kembali ke pasal satu *tepok jidat*

Mulai hari ini, gue harus membiasakan diri menghadapi beliau. Ketua jurusan  kami orangnya idealis banget. Untuk pengajuan judul saja kita sebagai mahasiswa harus menyiapkan minimal tiga judul. Itupun harus melalui persetujuan pembimbing akademik masing-masing setiap mahasiswa.

Fiuh, gue punya nasib jelek di kampus ini. Pembimbing akademik gue punya sifat idealis juga! Dan matilah gue bersama nasib sial ini. Dua-duanya dosen galak dan susah banget lulusin mahasiswa. Jurus yang biasa gue pake –Lo! Bisa pura-pura pingsan- di hadapan mereka.

Ok, lupakan sejenak ide berpura-pura pingsan itu.

Dari rumah, gue mulai print out formulir pengajuan judul skripsi sambil baca mantra. Berharap ada satu judul yang nyangkut dan bisa gue pelajari selama nulis skripsi. 

Dengan semangat baru dan senyuman kekal, gue minta anterin bokap (yang kebetulan lagi libur) untuk pergi ke kampus.

“Mau kemana?” tanya bokap.

“Kampus,” jawab gue sambil beres-beres berkas bahan untuk ujian nanti sore dan berkas pengajuan judul.

Gue harus ngapalin beberapa bagian dan membaca hal-hal yang berkaitan dengan  judul. Soalnya saat pengajuan judul skripsi yang bakal kita ambil, dosen pembimbing akademik bakal tanya-tanya seberapa mengertikah kita dengan judul yang kita angkat.

Ok, take a breath. Huuf.


Kamis, 05 Januari 2012

PRAKATA



Ya, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup. Kita bakal memikirkan tentang apa yang sebenarnya kita inginkan selama ini. Termasuk gue. Entah itu melalui lisan atau tulisan. Baik itu tersurat maupun tersirat ataupun surat-suratan *Eaaaa*

Entahlah *ehem*

Banyak hal yang masih bisa kita pelajari. Masih banyak hal yang belum kita ketahui. Meskipun pada faktanya banyak orang yang lebih memilih berdiam diri agar enggak melakukan kesalahan sama sekali. Itu. Hanya sebuah pilihan. Bukan. Takdir.

Apakah kita akan berada di tingkat standar atau biasa-biasa saja dalam hidup.

Beberapa pertanyaan tentunya akan bermunculan. Yang utama adalah generalisasi setiap pemikiran orang lain di luar pemikiran kita sendiri atau secara khusus berbeda dalam cara menanggapi sesuatu. Semua tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Semua akan kembali kepada mindset pribadi masing-masing. Tentu!

Apa itu mindset? *silahkan cari di search engine terdekat*

Menulis pun begitu. Cara bertutur kata pun sama. Gue enggak berlebihan soal ini. Yang gue dan kita butuhkan dalam hidup ini hanyalah “Sebuah Keberanian Kecil Untuk Menjemput Keberanian Besar”








With Love as Always,
SiBengalLiar