Dahi
Bokap menggernyit. Dalam hati bokap pasti bilang: “Anak gue kenapraaa, Tuhan?
Mukanya biru-biru sambil komat-kamit di dalem mobil gue?!”
Gue
sampe juga di kampus. Kampus yang dulunya membuat gue menginginkannya melebih
apapun. Gue pengen duduk di kampus. Elus-elus dinding kampus. Peluk-peluk
dinding kampus sampe mampus. Tapi sekarang?!
Jangan
tanya. Perasaan gue sama kampus udah berubah seiring waktu. Persis kayak
lagunya Rio Febrian “Jenuuuuhhhh,” sambil *Lo. Bisa berpura-pura pingsan*
Sebenarnya,
bukan karena jenuh menjabat sebagai mahasiswi tingkat atas. Tapi, sekarang
emang sudah waktunya mengajukan judul. Syarat SKS sudah. Syarat kerja praktek
udah. Dan saatnya beraksi sampai tetes darah penghabisan untuk perjuangan satu
ini.
Ibaratnya,
kalau lo belum benar-benar merasakan jatuh bangunnya bikin skripsi. Lo belum
layak disebut sebagai seorang mahasiswa.
Triiiiiiiiitt!
Rem mobil bokap berderit. Mobil berhenti tepat di depan kampus dan gue merasa
benar-benar membutuhkan tabung oksigen sekarang juga. Deg-deg’an campur sesak
napas dadakan merupakan perpaduan panic
attack yang sangat menyiksa batin.
Pikiran
gue melayang kemana-mana. Antara wajah kajur ke tempat belanja. Balik ke tempat
belanja dan wajah kajur. Antara tempat wajah ke belanja kajur. Aduh, saat stres
begini bawaan malah pengin belanja gila-gila’an >,<
“Ayah,
doain ya! Semoga judul untuk skripsi hari ini diterima. Wajah kajurnya bikin
mau belanja Yah,” Teriak gue pamitan sambil menutup pintu mobil menghambur
menyapa satpam kampus. Muka bokap bengong.
“Hai,
Pak.” Kata gue semangat, padahal jantung udah lepas-pasang sejak di perjalanan.
Pak satpamnya cuma memberi senyum sehangat martabak manis di kantin. Sudah itu
lanjut bengong lagi. *Lah?!
Akhirnya
gue sampai di depan ruangan pembimbing akademik gue. Napas gue masih
ngos-ngosan. Dan mengetuk pintu pelan-pelan sambil baca mantra.
Tok..
Tok.. Tok..
“Silahkan,”
kata suara dari dalam ruangan.
Gue
masuk dan menyisir keadaan ruangan. Semua tampak aman terkendali. Dan tanpa
canggung gue melangkah masuk sambil senyum selebar lima jari.
“Loh,
SiBengal?” seru si dosen sumringah dari balik Koran yang menutupi wajahnya
tadi.
“Loh,
bapaakk?!” teriak gue enggak kalah girang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar