Minggu, 08 Januari 2012

Kuliah: Eksperimen Mimpi (Page 2)


Dahi Bokap menggernyit. Dalam hati bokap pasti bilang: “Anak gue kenapraaa, Tuhan? Mukanya biru-biru sambil komat-kamit di dalem mobil gue?!”

Gue sampe juga di kampus. Kampus yang dulunya membuat gue menginginkannya melebih apapun. Gue pengen duduk di kampus. Elus-elus dinding kampus. Peluk-peluk dinding kampus sampe mampus. Tapi sekarang?!

Jangan tanya. Perasaan gue sama kampus udah berubah seiring waktu. Persis kayak lagunya Rio Febrian “Jenuuuuhhhh,” sambil *Lo. Bisa berpura-pura pingsan*

Sebenarnya, bukan karena jenuh menjabat sebagai mahasiswi tingkat atas. Tapi, sekarang emang sudah waktunya mengajukan judul. Syarat SKS sudah. Syarat kerja praktek udah. Dan saatnya beraksi sampai tetes darah penghabisan untuk perjuangan satu ini.

Ibaratnya, kalau lo belum benar-benar merasakan jatuh bangunnya bikin skripsi. Lo belum layak disebut sebagai seorang mahasiswa.

Triiiiiiiiitt! Rem mobil bokap berderit. Mobil berhenti tepat di depan kampus dan gue merasa benar-benar membutuhkan tabung oksigen sekarang juga. Deg-deg’an campur sesak napas dadakan merupakan perpaduan panic attack yang sangat menyiksa batin.

Pikiran gue melayang kemana-mana. Antara wajah kajur ke tempat belanja. Balik ke tempat belanja dan wajah kajur. Antara tempat wajah ke belanja kajur. Aduh, saat stres begini bawaan malah pengin belanja gila-gila’an >,<

“Ayah, doain ya! Semoga judul untuk skripsi hari ini diterima. Wajah kajurnya bikin mau belanja Yah,” Teriak gue pamitan sambil menutup pintu mobil menghambur menyapa satpam kampus. Muka bokap bengong.

“Hai, Pak.” Kata gue semangat, padahal jantung udah lepas-pasang sejak di perjalanan. Pak satpamnya cuma memberi senyum sehangat martabak manis di kantin. Sudah itu lanjut bengong lagi. *Lah?!

Akhirnya gue sampai di depan ruangan pembimbing akademik gue. Napas gue masih ngos-ngosan. Dan mengetuk pintu pelan-pelan sambil baca mantra.

Tok.. Tok.. Tok..

“Silahkan,” kata suara dari dalam ruangan.

Gue masuk dan menyisir keadaan ruangan. Semua tampak aman terkendali. Dan tanpa canggung gue melangkah masuk sambil senyum selebar lima jari.

“Loh, SiBengal?” seru si dosen sumringah dari balik Koran yang menutupi wajahnya tadi.

“Loh, bapaakk?!” teriak gue enggak kalah girang.

Tidak ada komentar: