“Driiittt”
telepon genggamku
berbunyi saat otak mulai dirasuki dialog-dialog jenuh dari dalam kepalaku
sendiri. Ada sms masuk. Mataku mulai terbelalak! Ada sms dari teman kerjaku, si Faris.
“San.. jadi kan persiapan untuk pemotretan bareng model-model baru itu pukul 3 sore ini, di
studio? Oh ya, jangan lupa bawa kostum karyamu itu ya..”
Aku menepuk jidatku
sendiri. Aih, bagaimana mungkin aku lupa soal jadwal pekerjaanku satu itu. Dan aku malah
sibuk melamun di depan tv dengan segala macam buku di tangan. Aku bahkan berencana akan menghabiskan waktu untuk menangis
sampai makan malam.
Aku mulai sedikit gelagapan. Mataku
semakin melotot melihat jam di sebelah kiri kursi yang duduk
manis di atas meja. Spontan saja aku
melompat dari kursi empukku sambil membalas sms kilat dari Faris.
“Ya,
tunggu aja di sana. Sekarang aku di jalan!” Aku
berbohong demi waktu. Jari-jari tangan mulai
mengetik cepat di tuts-tuts kecil telepon selulerku.
Aku
membuka lemari di kamar dengan terburu-buru. Membawa perlengkapan baju untuk pemotretan sore ini. Kaus
oblong v-neck putih dengan denim
pendek cukup membuatku tampak lebih bersemangat di jalanan yang bakal
macet. Saat ini aku cuma butuh dompet, telepon genggam, dan kunci mobil.
Hap! Aku berlari secepat kilat, melesat sambil meraih ketiga benda penting itu
di atas meja kamarku.
***
“Setiap kali seseorang berubah perasaannya pun berubah,
itu artinya bahwa cinta yang dibagi
bersama bisa berubah dan menjadi tidak nyata.”
Kata Naora, saudara kembarku. Hal paling sederhana dan dekat adalah ketika
seseorang bertumbuh, maka mereka akan tumbuh bersama.
Kecuali diriku, ya kecuali diriku. Perasaanku akan
tetap kerdil dan sempit kalau terus-terusan menimbun kenangan buruk, pikirku. Iya, aku bahkan menjadi lamban dan
penghuni tetap masa lalu.
Jalanan macet. Otakku mulai ikutan macet. Napasku tersengal-sengal meski waktu baru saja bergulir lima belas menit. Mobilku terjebak di antara orang-orang yang sibuk dengan dirinya
sendiri. Sama seperti diriku juga.
Ini perjalanan yang tidak sempurna. Tidak ada
turbulensi yang membuat diriku seperti tersengat listrik ribuan volt. Oh,
ya. Bukan. Maksudku tidak ada yang membuat aku jatuh cinta akhir-akhir ini. Termasuk jatuh cintaku pada kemacetan jalan raya.
Kakiku pegal!
Menyeimbangkan kopling dan gas di tengah macet seperti ini rasanya ingin kabur
ke planet-planet lain tanpa nama. Planet yang bebas macet tanpa penduduk
sepadat ini.
Di seberang lampu merah, ada beberapa anak
penjaja koran, beberapa penjual makanan ringan seperti permen, keripik ubi
pedas, dan pengemis musiman. Sepuluh menit terjebak di lampu merah saja
rasanya seperti sepuluh tahun. Dan pukul tiga sore ini aku sudah harus berada di studio dengan
busana berbeda.
Membawa kostum-kostum design
terbaruku sendiri hal itu memang cukup terlihat seksi sebagai designer pemula apalagi seperti diriku. Padahal penilaianku sendiri justru masih nol
besar, aku harus lebih banyak belajar dan bertahan pada satu passionku. Design.
Bagiku pembelajaran di waktu kuliah
rasanya belum untuk mengimplementasikan secara utuh, karena pada kenyataannya
terjun ke lapangan adalah cara bagaimana kita belajar teori-teori kuliah
sesungguhnya. Konsumen dan produk. Dua hal penting yang tak pernah bisa
dipisahkan, simbiosis mutualisme.
Lampu merah membela diri ketika aku mulai garang. Lampu merah tampak lebih angkuh dan aku tak mau tahu itu. Bersama-sama pengemudi lain yang mengeluh, cahaya-cahaya pendar merah tidak terlihat penuh. Aku benar-benar sudah jenuh dengan kemacetan ini.
Hanya ada beberapa anak lampu merah yang
boleh mengisi panggung lalu lintas. Mereka yang terjebak hanya boleh diam bagai
patung manekin beku. Kini giliranku dan sama
seperti mereka. AC mobilku boleh saja sedang merajuk karena tidak begitu membantu
menyejukkan tubuh. Tapi entahlah, sepertinya lama-lama tubuhku mulai beradaptasi. Mataku mengajak untuk berpetualang ke arah trotoar,
mengamati kehidupan yang sedang berjalan. Pepatah lama ini sepertinya cocok dipakai pada situasiku
saat ini. Daripada aku merutuki gelap lebih baik menyalakan lilin, kan?
“Korannya, mbak?” Aku membuka jendela mobil sambil melambai sopan.
“Ya, dik. Berapa?”
“Seribu aja mbak.
Udah sore, jadi ngabisin koran
aja. Mau mbak”
“Oh ya, iya! Mbak
minta satu ya..”
Anak itu mengulurkan koran yang ku pinta.
Mata anak itu jernih meski bajunya sudah berwarna kecoklatan
buram karena usang dan tubuhnya menyeruak aroma khas matahari menyengat. Aku cepat-cepat memberikan hak anak itu. Membayar dengan uang
selembar ribuan. Dan menutup jendela mobilku lagi. Ya, aku takut kriminalitas saat di
lampu merah. Lebih baik waspada, kan? Daripada terjadi apa-apa. Mungkin, akan
ada kejadian aneh. Contohnya, anak-anak punk atau pemecah kaca jendela. Ohh,
pikiranku jadi ngawur kan.
“Sreet..” suara kertas-kertas koran.
Oke, koran
itu hanya sebuah alasan agar aku bisa menyelundup dan bebas menghirup aroma
kehidupan jalan. Meski diam-diam menyukai
sensasi aroma jalanan, aku harus tetap waspada. Aku hanya sekedar memancing perasaan apatisku terhadap lingkungan. Melihat aksi reaksi seperti bola-bola api yang direndam dengan air
dingin. Apatisnya kini membeku.
Sekarang, lampu merah berganti dengan indah. Aku bebas. Kakiku
menginjak pedal gas dan melaju dengan pasti ke studio Faris.
Ini sebuah lilin warna merah dan aku
menyalakannya!
***
Di studio yang sudah di design sesuai tema pemotretan majalah Life minggu ini, Faris sibuk mengatur empat orang perempuan semampai
yang akan ditemani olehku. Mereka berempat akan
dipotret untuk tema go green di
majalah Life minggu ini bersama dengan diriku.
Lalu aku
berlari cepat ke lantai atas, studio Faris. Membawa beberapa kostum milikku dari dalam mobil. Jari telunjukku memencet tombol Lift menuju lantai ketiga.
Di studio.
Ada dua pohon besar terbuat dari streofoam sebagai alat bantu pemotretan
kali ini. Cahaya lampu menyerupai matahari pagi yang
penuh. Daun-daun kering yang berserakan di lantai, dan kostum siffon berwarna hijau dalam genggamanku. Beberapa model baru
yang sedang berdiri di tengah-tengah ruangan studio tampak
seperti bidadari yang tersesat di hutan hujan buatan.
“Halooooo
semuanya,” Aku membuka semangat pada rekan-rekan kerjaku. Aku harus professional. Perasaan jengkelku terhadap macet harus kutinggalkan di
luar ruangan.
Empat model semampai, satu fotographer bernama Faris dan ruang studionya. Kami berenam di
ruangan penuh kreatifitas ini. Dan semuanya tampak riuh di tambah satu make up artist bernama Dea yang ramah.
Aku memberikan lima kostum dengan model berbeda-beda yang
selesai aku design sebulan yang lalu dan dijahit oleh penjahit langgananku
untuk tema majalah Life
kali ini. Pilihan warna hijau akan membuat mereka berempat setidaknya lebih go
green. Tema yang ironis memang tapi cukup sesuai untuk menyadarkan kita, bagaimana cara kita hidup yang
tidak ramah lingkungan beberapa tahun terakhir ini. Sisa satu kostum terakhir untukku.
Ketua redaksi meminta tema ini harus diangkat
berulang-ulang agar orang bisa saling mengingatkan
dan membenahi lingkungan. Ide bagus, tinggal menunggu dampak positifnya saja. We’ll see and enjoy.
Mataku tertuju pada kursi kosong lalu menyeretnya
pelan-pelan ke arah meja rias, bergabung bersama mereka. Dea langsung mendekatiku, meminta izin untuk
merias. Wajahku dirias
sama seperti mereka berempat. Kali ini, giliranku yang terakhir. Perlahan, kupejamkan mataku.
“Kamu cantik banget, Sandra.” Tiba-tiba Dea
memuji saat aku tengah asik melamun.
“Ehehehehee..” aku hanya membalasnya dengan tawa kecil yang tersipu dan sopan.
“By the
way, gimana naskah di rubrik kamu minggu ini tentang go green? Fashion dengan
kulit hewan dan bulu hewan yang dijadikan objek fashion yang paling diminati dan menjadi tren saat ini tapi majalah Life malah mengangkat tema ‘hutan hujan’, apakah itu tidak berlawanan?” Dea langsung menembak obrolan.
“Emh..,” kalimatku menggantung, kata-kata sudah di ujung lidah. Ada
beberapa kalimat yang sedang berkemas ke dalam dada. Dea ternyata cukup peduli
tentang hal ini. Pemikirannya menarik, membuatku ingin menyampaikan beberapa
opsi lain.
Dea menyisir rambutku pelan dan rapi. Mata
Dea menuntut jawaban dariku. Aku mengintip dari celah kelopak mataku dan berpura-pura
menenangkan diri sebelum pemotretan.
Aku menarik napas dalam-dalam,
memikirkan ulang kata-kata yang ingin aku keluarkan.
“Bagaimana kalau para perempuan bisa mengalihkan
kulit ular atau bulu macan dengan bahan-bahan tiruan?” Aku mengajaknya berdialog dua arah, memberi jebakan
pertanyaan pada Dea.
“Tiruan?! Imitasi doong, mana mungkin
perempuan branded menyukai
kulit-kulit tiruan apalagi para perempuan yang menjunjung tinggi mode, San..” mata Dea berkobar, tangannya masih memulas wajahku. Aku tertohok, geli.
Menertawakan diriku sendiri.Tapi Dea benar.
“Ahahahaha,” tawaku meledak, aku terbahak. Bibirku terbuka
lebar dan membuat lipstik yang dibaurkan oleh Dea sedikit berlepotan di ujung
bibir. Ini seperti senjata
makan tuan. Pertanyaan itu untuk diriku sendiri.
“Lah, iya doong San. Kecuali ya, perempuan
yang memang budgetnya sedikit untuk
mengikuti mode. Mungkin, hanya seribu satu yang alasannya adalah bagian dari go green, tidak merusak dan membunuh
rantai ekosistem. Kalaupun ada, masih banyak sebagian perempuan menganggap
mereka tidak mampu memenuhi tuntutan
mode.” Dea nyerocos panjang lebar sambil membenahi rambut sasakku.
“Bisa jadi, tapi ya jangan ngotot gitu ahh
haha. Udah ada kok, beberapa seleb yang memberikan contoh baik di dunia mode tentang
kulit dan bulu hewan yang dijadikan bahan-bahan rancangan mode untuk enggak
digunakan lagi.”
“Iya
deh,” Dea menyerah, bahunya diangkat
sungkan.
“Ok, aku ambil gambar dulu ya. Trims make up nya. Aku suka sama eye shadow hijau seperti ini..”
“Yup! Sama-sama San. Kamu pakai eye shadow warna apapun matamu tetap
terlihat hidup kok. Jiwamu itu punya karakter! Berbeda di
antara model-model lain. Kamu beda San!”
“Iya jelas beda dari mereka haha. Aku kan
karyawan di majalah Life ini, model loh bukan bintang tamu.” Aku terbahak lagi, tapi kali ini aku berhati-hati agar
lipstik yang cantik ini tidak berlepotan di garis-garis bibirku.
“Sekaligus pengurus rubrik dan
designer,” timpal Dea sekenanya.
“Designer
bau kencur haha!” tawaku makin terbahak.
“Ahahahaha, ada-ada aja kamu San..” tawa Dea membahana di ruang make up.
Dea menganggap diriku
seorang perempuan enerjik yang cantik bahkan lebih, punya apa yang paling
diinginkan banyak perempuan. Kemandirian. Tapi bagiku, aku sedang kerdil dan kalah berperang
dengan diriku sendiri. Aku ini pengecut. Dan aku menyembunyikan
ketakutan-ketakutan itu serapat mungkin. Hanya aku yang boleh tahu tentang
perasaan terdalamku. Bahkan tanda baca pun tak akan mendengar ketika aku membicarakan
soal ini.
Aku beranjak dari kursi. Mengintip ke ruang sebelah. Mereka berempat sudah merapikan kostum
dan terlihat menawan dengan make up
lengkap. Mata berbinar dan senyuman-senyuman kekal.
Selesai dirias, aku mengenakan kostum siffon
hijau panjang. Surai-surai lembut ini akan membuat efek dramatis setelah difoto. Eksotis. Aku merasakan foto ini akan mengeluarkan aura naturalis
dari setiap karakter wajah empat teman kerjaku saat
ini.
Seminggu lalu aku
mengenal mereka, teman satu frame
untuk tema minggu ini.
Selain Dea, teman yang ramah dan paling sering
kutemui di kantor redaksi sebagai make up
artist. Ternyata mereka berempat juga ramah, yang jelas cantik dan mempunyai postur lebih semampai dari tubuhku
sekitar 5 inci. Tinggiku hanya 170cm dan mereka semampai padat berisi. Dua dari mereka, Kiren dan Jalu mempunyai
kulit cokelat, bermata lebih besar dan bulat.
Hanna, berkulit kuning langsat dan mempunyai rambut
hitam yang halus. Anin, adiknya yang juga seorang model. Mereka bersaudara, bagian dari finalis model majalah remaja tahun lalu dan
reputasi mereka sebagai model cukup bagus sebagai pendatang baru.
Aku bersemangat sekali kerja satu
frame bersama mereka, senyumku mengembang seperti adonan kue yang diberi ragi.
Pohon-pohon buatan ini seperti ingin ku makan. Aku suka bagian pekerjaanku yang
satu ini seperti saat aku mengenggam pensil warna dan menulis rubrik.
Kini kami berlima mengatur posisi
sesuai arahan Faris. Anin dipojok sebelah kanan hampir menyatu di pohon streofoam, Hanna di tengah, lalu aku
diatur untuk berdiri memegang remah-remah daun dan siap melepaskannya ke udara.
Sisanya Kihara, gadis berambut gelombang dengan wajah eksotis khas Indonesia. Dan bagian lain
yang kosong diisi oleh Alya si gadis bermata binar dengan bibir mungil yang
penuh. Kita diatur seperti penta. Ini pengalaman pemotretan ketiga buatku, ini
keren!
“Tiga! Dua! Satu! Take!!”
...Bersambung...