Sabtu, 24 Desember 2016

JANGKAR: Prolog (1-5)

“Driiittt” telepon genggamku berbunyi saat otak mulai dirasuki dialog-dialog jenuh dari dalam kepalaku sendiri. Ada sms masuk. Mataku mulai terbelalak! Ada sms dari teman kerjaku, si Faris

“San.. jadi kan persiapan untuk pemotretan bareng model-model baru itu pukul 3 sore ini, di studio? Oh ya, jangan lupa bawa kostum karyamu itu ya..”

Aku menepuk jidatku sendiri. Aih, bagaimana mungkin aku lupa soal jadwal pekerjaanku satu itu. Dan aku malah sibuk melamun di depan tv dengan segala macam buku di tangan. Aku bahkan berencana akan menghabiskan waktu untuk menangis sampai makan malam.

Aku mulai sedikit gelagapan. Mataku semakin melotot melihat jam di sebelah kiri kursi yang duduk manis di atas meja. Spontan saja aku melompat dari kursi empukku sambil membalas sms kilat dari Faris.

“Ya, tunggu aja di sana. Sekarang aku di jalan!” Aku berbohong demi waktu. Jari-jari tangan mulai mengetik cepat di tuts-tuts kecil telepon selulerku.

Aku membuka lemari di kamar dengan terburu-buru. Membawa perlengkapan baju untuk pemotretan sore ini. Kaus oblong v-neck putih dengan denim pendek cukup membuatku tampak lebih bersemangat di jalanan yang bakal macet.  Saat ini aku cuma butuh dompet, telepon genggam, dan kunci mobil. Hap! Aku berlari secepat kilat, melesat sambil meraih ketiga benda penting itu di atas meja kamarku.
***
Setiap kali seseorang berubah perasaannya pun berubah, itu artinya  bahwa cinta yang dibagi bersama bisa berubah dan menjadi tidak nyata.

Kata Naora, saudara kembarku. Hal paling sederhana dan dekat adalah ketika seseorang bertumbuh, maka mereka akan tumbuh bersama.

Kecuali diri
ku, ya kecuali diriku. Perasaanku akan tetap kerdil dan sempit kalau terus-terusan menimbun kenangan buruk, pikirku. Iya, aku bahkan menjadi lamban dan penghuni tetap masa lalu.

Jalanan macet. Otakku mulai ikutan macet. Napasku tersengal-sengal meski waktu baru saja bergulir lima belas menit. Mobilku terjebak di antara orang-orang yang sibuk dengan dirinya sendiri. Sama seperti diriku juga.

Ini perjalanan yang tidak sempurna. Tidak ada turbulensi yang membuat diriku seperti tersengat listrik ribuan volt. Oh, ya. Bukan. Maksudku tidak ada yang membuat aku jatuh cinta akhir-akhir ini. Termasuk jatuh cintaku pada kemacetan jalan raya. Kakiku pegal! Menyeimbangkan kopling dan gas di tengah macet seperti ini rasanya ingin kabur ke planet-planet lain tanpa nama. Planet yang bebas macet tanpa penduduk sepadat ini.

Di seberang lampu merah, ada beberapa anak penjaja koran, beberapa penjual makanan ringan seperti permen, keripik ubi pedas, dan pengemis musiman. Sepuluh menit terjebak di lampu merah saja rasanya seperti sepuluh tahun. Dan pukul tiga sore ini aku sudah harus berada di studio dengan busana berbeda.

Membawa kostum-kostum design terbaruku sendiri hal itu memang cukup terlihat seksi sebagai designer pemula apalagi seperti diriku. Padahal penilaianku sendiri justru masih nol besar, aku harus lebih banyak belajar dan bertahan pada satu passionku. Design.

Bagiku pembelajaran di waktu kuliah rasanya belum untuk mengimplementasikan secara utuh, karena pada kenyataannya terjun ke lapangan adalah cara bagaimana kita belajar teori-teori kuliah sesungguhnya. Konsumen dan produk. Dua hal penting yang tak pernah bisa dipisahkan, simbiosis mutualisme.   

Lampu merah membela diri ketika aku mulai garang. Lampu merah tampak lebih angkuh dan aku tak mau tahu itu. Bersama-sama pengemudi lain yang mengeluh, cahaya-cahaya pendar merah tidak terlihat penuh. Aku benar-benar sudah jenuh dengan kemacetan ini.  

Hanya ada beberapa anak lampu merah yang boleh mengisi panggung lalu lintas. Mereka yang terjebak hanya boleh diam bagai patung manekin beku. Kini giliranku dan sama seperti mereka. AC mobilku boleh saja sedang merajuk karena tidak begitu membantu menyejukkan tubuh. Tapi entahlah, sepertinya lama-lama tubuhku mulai beradaptasi. Mataku mengajak untuk berpetualang ke arah trotoar, mengamati kehidupan yang sedang berjalan. Pepatah lama ini sepertinya cocok dipakai pada situasiku saat ini. Daripada aku merutuki gelap lebih baik menyalakan lilin, kan?

“Korannya, mbak?” Aku membuka jendela mobil sambil melambai sopan.

“Ya, dik. Berapa?”

“Seribu aja mbak. Udah sore, jadi ngabisin koran aja. Mau mbak

“Oh ya, iya! Mbak minta satu ya..”

Anak itu mengulurkan koran yang ku pinta. Mata anak itu jernih meski bajunya  sudah berwarna kecoklatan buram karena usang dan tubuhnya menyeruak aroma khas matahari menyengat. Aku cepat-cepat memberikan hak anak itu. Membayar dengan uang selembar ribuan. Dan menutup jendela mobilku lagi. Ya, aku takut kriminalitas saat di lampu merah. Lebih baik waspada, kan? Daripada terjadi apa-apa. Mungkin, akan ada kejadian aneh. Contohnya, anak-anak punk atau pemecah kaca jendela. Ohh, pikiranku jadi ngawur kan.  

“Sreet..” suara kertas-kertas koran.

Oke, koran itu hanya sebuah alasan agar aku bisa menyelundup dan bebas menghirup aroma kehidupan jalan. Meski diam-diam menyukai sensasi aroma jalanan, aku harus tetap waspada. Aku hanya sekedar memancing perasaan apatisku terhadap lingkungan. Melihat aksi reaksi seperti bola-bola api yang direndam dengan air dingin. Apatisnya kini membeku.

Sekarang, lampu merah berganti dengan indah. Aku bebas. Kakiku menginjak pedal gas dan melaju dengan pasti ke studio Faris.

Ini sebuah lilin warna merah dan aku menyalakannya!

***

Di studio yang sudah di design sesuai tema pemotretan majalah Life minggu ini, Faris sibuk mengatur empat orang perempuan semampai yang akan ditemani olehku. Mereka berempat akan dipotret untuk tema go green di majalah Life minggu ini bersama dengan diriku.

Lalu aku berlari cepat ke lantai atas, studio Faris. Membawa beberapa kostum milikku dari dalam mobil. Jari telunjukku memencet tombol Lift menuju lantai ketiga.

Di studio.

Ada dua pohon besar terbuat dari streofoam sebagai alat bantu pemotretan kali ini. Cahaya lampu menyerupai matahari pagi yang penuh. Daun-daun kering yang berserakan di lantai, dan kostum siffon berwarna hijau dalam genggamanku. Beberapa model baru yang sedang berdiri di tengah-tengah ruangan studio tampak seperti bidadari yang tersesat di hutan hujan buatan.   

“Halooooo semuanya,” Aku membuka semangat pada rekan-rekan kerjaku. Aku harus professional. Perasaan jengkelku terhadap macet harus kutinggalkan di luar ruangan.

Empat model semampai, satu fotographer bernama Faris dan ruang studionya. Kami berenam di ruangan penuh kreatifitas ini. Dan semuanya tampak riuh di tambah satu make up artist bernama Dea yang ramah. 

Aku memberikan lima kostum dengan model berbeda-beda yang selesai aku design sebulan yang lalu dan dijahit oleh penjahit langgananku untuk tema majalah Life kali ini. Pilihan warna hijau akan membuat mereka berempat setidaknya lebih go green. Tema yang ironis memang tapi cukup sesuai untuk menyadarkan kita, bagaimana cara kita hidup yang tidak ramah lingkungan beberapa tahun terakhir ini. Sisa satu kostum terakhir untukku.

Ketua redaksi meminta tema ini harus diangkat berulang-ulang agar orang bisa saling mengingatkan dan membenahi lingkungan. Ide bagus, tinggal menunggu dampak positifnya saja. We’ll see and enjoy.

Mataku  tertuju pada kursi kosong lalu menyeretnya pelan-pelan ke arah meja rias, bergabung bersama mereka. Dea langsung mendekatiku, meminta izin untuk merias. Wajahku dirias sama seperti mereka berempat. Kali ini, giliranku yang terakhir. Perlahan, kupejamkan mataku.

“Kamu cantik banget, Sandra.” Tiba-tiba Dea memuji saat aku tengah asik melamun.  

“Ehehehehee..” aku hanya membalasnya dengan tawa kecil yang tersipu dan sopan.

By the way, gimana naskah di rubrik kamu minggu ini tentang go green? Fashion dengan kulit hewan dan bulu hewan yang dijadikan objek fashion yang paling diminati dan menjadi tren saat ini tapi majalah Life malah mengangkat tema ‘hutan hujan’, apakah itu tidak berlawanan?” Dea langsung menembak obrolan.

“Emh..,” kalimatku menggantung, kata-kata sudah di ujung lidah. Ada beberapa kalimat yang sedang berkemas ke dalam dada. Dea ternyata cukup peduli tentang hal ini. Pemikirannya menarik, membuatku ingin menyampaikan beberapa opsi lain.

Dea menyisir rambutku pelan dan rapi.  Mata Dea menuntut jawaban dariku. Aku mengintip dari celah kelopak mataku dan berpura-pura menenangkan diri sebelum pemotretan.

Aku menarik napas dalam-dalam, memikirkan ulang kata-kata yang ingin aku keluarkan.

“Bagaimana kalau para perempuan bisa mengalihkan kulit ular atau bulu macan dengan bahan-bahan tiruan?” Aku mengajaknya berdialog dua arah, memberi jebakan pertanyaan pada Dea.

“Tiruan?! Imitasi doong, mana mungkin perempuan branded menyukai kulit-kulit tiruan apalagi para perempuan yang menjunjung tinggi mode, San..mata Dea berkobar, tangannya masih memulas wajahku. Aku tertohok, geli. Menertawakan diriku sendiri.Tapi Dea benar.

“Ahahahaha,” tawaku meledak, aku terbahak. Bibirku terbuka lebar dan membuat lipstik yang dibaurkan oleh Dea sedikit berlepotan di ujung bibir. Ini seperti senjata makan tuan. Pertanyaan itu untuk diriku sendiri.

“Lah, iya doong San. Kecuali ya, perempuan yang memang budgetnya sedikit untuk mengikuti mode. Mungkin, hanya seribu satu yang alasannya adalah bagian dari go green, tidak merusak dan membunuh rantai ekosistem. Kalaupun ada, masih banyak sebagian perempuan menganggap mereka tidak mampu memenuhi  tuntutan mode.” Dea nyerocos panjang lebar sambil membenahi rambut sasakku.

“Bisa jadi, tapi ya jangan ngotot gitu ahh haha. Udah ada kok, beberapa seleb yang memberikan contoh baik di dunia mode tentang kulit dan bulu hewan yang dijadikan bahan-bahan rancangan mode untuk enggak digunakan lagi.”

“Iya  deh,” Dea menyerah, bahunya diangkat sungkan.

“Ok, aku ambil gambar dulu ya. Trims make up nya. Aku suka sama eye shadow hijau seperti ini..”

“Yup! Sama-sama San. Kamu pakai eye shadow warna apapun matamu tetap terlihat hidup kok. Jiwamu itu punya karakter! Berbeda di antara model-model lain. Kamu beda San!”

“Iya jelas beda dari mereka haha. Aku kan karyawan di majalah Life ini, model loh bukan bintang tamu.” Aku terbahak lagi, tapi kali ini aku berhati-hati agar lipstik yang cantik ini tidak berlepotan di garis-garis bibirku.

“Sekaligus pengurus rubrik dan designer,” timpal Dea sekenanya.

Designer bau kencur haha!” tawaku makin terbahak.

Ahahahaha, ada-ada aja kamu San..” tawa Dea membahana di ruang make up.

Dea menganggap diriku seorang perempuan enerjik yang cantik bahkan lebih, punya apa yang paling diinginkan banyak perempuan. Kemandirian. Tapi bagiku, aku sedang kerdil dan kalah berperang dengan diriku sendiri. Aku ini pengecut. Dan aku menyembunyikan ketakutan-ketakutan itu serapat mungkin. Hanya aku yang boleh tahu tentang perasaan terdalamku. Bahkan tanda baca pun tak akan mendengar ketika aku membicarakan soal ini.

Aku beranjak dari kursi. Mengintip ke ruang sebelah. Mereka berempat sudah merapikan kostum dan terlihat menawan dengan make up lengkap. Mata berbinar dan senyuman-senyuman kekal.  

Selesai dirias, aku mengenakan kostum siffon hijau panjang. Surai-surai lembut ini akan membuat efek dramatis setelah difoto. Eksotis. Aku merasakan foto ini akan mengeluarkan aura naturalis dari setiap karakter wajah empat teman kerjaku saat ini.

Seminggu lalu aku mengenal mereka, teman satu frame untuk tema minggu ini.

Selain Dea, teman yang ramah dan paling sering kutemui di kantor redaksi sebagai make up artist. Ternyata mereka berempat juga ramah, yang jelas cantik dan mempunyai postur lebih semampai dari tubuhku sekitar 5 inci. Tinggiku hanya 170cm dan mereka semampai padat berisi. Dua dari mereka, Kiren dan Jalu mempunyai kulit cokelat, bermata lebih besar dan bulat.

Hanna, berkulit kuning langsat dan mempunyai rambut hitam yang halus. Anin, adiknya yang juga seorang model. Mereka bersaudara, bagian dari finalis model majalah remaja tahun lalu dan reputasi mereka sebagai model cukup bagus sebagai pendatang baru.

Aku bersemangat sekali kerja satu frame bersama mereka, senyumku mengembang seperti adonan kue yang diberi ragi. Pohon-pohon buatan ini seperti ingin ku makan. Aku suka bagian pekerjaanku yang satu ini seperti saat aku mengenggam pensil warna dan menulis rubrik.

Kini kami berlima mengatur posisi sesuai arahan Faris. Anin dipojok sebelah kanan hampir menyatu di pohon streofoam, Hanna di tengah, lalu aku diatur untuk berdiri memegang remah-remah daun dan siap melepaskannya ke udara. 

Sisanya Kihara, gadis berambut gelombang dengan wajah eksotis khas Indonesia. Dan bagian lain yang kosong diisi oleh Alya si gadis bermata binar dengan bibir mungil yang penuh. Kita diatur seperti penta. Ini pengalaman pemotretan ketiga buatku, ini keren!


“Tiga! Dua! Satu! Take!!


...Bersambung...

1 komentar:

Gisella Preswita mengatakan...

Ini manteb lah... Saya sukaasekaleee... Maksih reviewnya sistaa :* muuuuuuaahh

===Ads===
Jam Buka Alamat bank, alfamart, dan kantor lainnya ada disitu.